Review Film: Little Women

Review Film: Little Women

Sabtu, Februari 22, 2020


Liputan21 - " Aku cuma berpura- pura jadi orang yang lebih berani dari diri aku yang sebetulnya. Apakah aku betul- betul dapat? Aku tidak percaya."

Benak itu berbalik di kepala Greta Gerwig sehabis keluar dari ruang pertemuan Sony Pictures. Kala itu, dia belum memiliki pengalaman jadi sutradara, tetapi berani menawarkan diri buat menyutradarai Little Women-- karya yang memanglah memiliki tempat istimewa di hati para penikmat literatur serta rakyat Amerika Serikat.

Tetapi pada kesimpulannya, Sony tidak salah seleksi. Gerwig sukses meramu cerita klasik dari novel Louisa May Alcott itu jadi suguhan fresh, apalagi menaikkan arti yang tidak terasa dalam 3 menyesuaikan diri tadinya, setelah itu dibumbui dengan romansa serta humor cocok.

Little Women sendiri berkisah tentang kakak beradik wanita dari Keluarga March, ialah Meg( Emma Watson), Jo( Saoirse Ronan), Amy( Florence Pugh), serta Beth( Eliza Scanien).

Lahir di tengah keluarga miskin dikala masa perang, mereka berjuang mengejar mimpi sambil melawan stigma terhadap wanita di masa itu.

Di seberang rumah simpel Keluarga March, berdiri megah kediaman Keluarga Lawrence, di mana Tuan Lawrence( Chris Cooper) yang kaya raya serta cucunya, Laurie( Timothee Chalamet), tinggal bersama. Kedua keluarga ini kesimpulannya bersahabat serta silih mengisi.

Dari segi cerita, Little Women memanglah telah kokoh, teruji dari paling tidak 3 menyesuaikan diri layar lebar tadinya yang tidak sempat kandas. Menyesuaikan diri yang awal pada 1933 apalagi dinobatkan bagaikan film terbaik di ajang Oscar.

Kelainannya, Gerwig menaikkan arti konteks dari cerita ini. Bila menyesuaikan diri tadinya cuma menceritakan tentang March bersaudara, Gerwig seakan merangkum cerita Alcott kala menulis Little Women, novel yang sesungguhnya termotivasi dari cerita hidup si novelis sendiri.

Secara totalitas, metode bertutur Gerwig pula berbeda dengan adaptasi- adaptasi tadinya yang kronologis. Little Women karya Gerwig beralur maju mundur, tetapi membuat seluruh arti lebih tersalur.

Misalnya, adegan dikala Jo bawa Beth yang lagi sekarat ke tepi laut. Beth memohon Jo buat kembali menulis, demi dirinya yang mungkin tidak hendak berusia lebih panjang lagi.

" Jalani saja semacam yang dianjurkan Marmee( panggilan buat ibunya). Jalani buat orang lain," kata Beth bersandar di pundak Jo.

Adegan langsung mundur ke momen kala si bunda jadi sukarelawan di posko dorongan keluarga korban perang. Marmee terharu memandang seseorang ayah yang merelakan 3 anaknya ke medan perang.

Hati Marmee sirna sebab dia sering meringik kala suaminya wajib turut perang. Sedangkan itu, ayah tua ini merelakan seluruh anggota keluarga yang dia memiliki demi seisi bangsa.

Sehabis itu, Marmee menerima berita kalau suaminya sakit di medan perang. Dia wajib lekas menjenguk, tetapi tidak memiliki duit. Jo kesimpulannya menjual rambutnya supaya ibunya dapat berangkat menjaga si bapak.

Tidak cuma menyatukan bermacam momen ke dalam satu konteks, Gerwig pula sukses membuat perpindahan dari satu momen ke berikutnya sangat lembut. Gerwig mengakui kalau dia menghabiskan otak supaya bingkai satu senantiasa berkelindan dengan berikutnya.

Bila ditelaah, terdapat sebagian adegan patah, semacam dikala Jo berjumpa dengan Friedrich Bhaer. Mereka nampak semacam berciuman 2 kali sebab pengambilan foto yang patah.

Tetapi, kekurangan sebagian detik itu terbayar dengan sinematografi apik di sederet momen yang lain, semacam desir pasir tepi laut yang terekam jelas dikala Jo menenangkan Beth kala sekarat.

Pemirsa pula tidak hendak pusing membedakan masa kemudian serta saat ini sebab Gerwig mengendalikan sedemikian rupa sehingga corak di masing- masing masa ini berbeda. Masa saat ini lebih cerah, sedangkan yang dulu sekali cenderung hitam kekuningan.

Bicara soal corak, Gerwig pula mencermati perinci baju buat masing- masing tokoh. Meg lebih kerap menggunakan corak hijau, sedangkan Jo hitam- ungu hitam, Amy dengan biru, serta Beth pink. Corak ini sangat dipikirkan, cocok kepribadian masing- masing tokoh.

Tidak cuma itu, kostum dalam film ini pula sangat cocok dengan penggambaran di novel. Contohnya kala Jo senantiasa menggunakan jaket tertentu masing- masing hendak menulis.

Acung jempol buat si desainer kostum, Jacqueline Durran, yang sanggup membentuk citra elok keluarga March di tengah kemiskinan mereka. Tidak heran Durran diganjar piala Oscar 2020 berkat karyanya di film ini.

Soal novel, film ini pula banyak mengambil kutipan murni dari tulisan Alcott yang memakai kosa kata lawas. Walaupun puitis, para aktor sukses melafalkannya dengan baik sehingga terdengar alami serta cocok style masa saat ini.

Sebut saja dikala Jo menolak lamaran Laurie. Dengan emosi membuncah, Jo mengatakan," Id hate elegant society, and youd hate my scribbling, and we would be unhappy, and wish we hadnt done it, and everything will be horrid."



Tidak cuma menawan dalam berakting, para aktor pula sanggup mewujudkan naskah brilian Gerwig, di mana masing- masing kepribadian silih menimpali dengan sela waktu kecil, tetapi senantiasa mengalun harmonis.

Lebih dari isi novel Little Women, Gerwig meningkatkan konteks kehidupan di masa perang, kala wanita pula wajib mempunyai strategi ekonomi. Akumulasi konteks ini membuat impian para wanita Keluarga March jadi logis.

Ambil contoh kala Gerwig menyelipkan ocehan Amy dikala membalas kritik nyinyir Laurie menimpa wanita serta perkawinan.

" Aku cuma wanita, tidak bisa jadi aku memiliki duit sendiri. Tidak lumayan buat menghidupi keluarga, serta walaupun aku memiliki duit, yang pada realitasnya tidak, duit itu pula hendak jadi kepunyaan suami aku kala kami menikah," katanya.

" Bila kami memiliki anak, mereka hendak jadi miliknya, bukan aku. Mereka hendak jadi propertinya, jadi jangan duduk di situ serta berkata kalau perkawinan bukan strategi ekonomi sebab memanglah ya. Bisa jadi tidak untukmu, tetapi jelas ya buat aku."

Mengarah penghujung, film ini memperlihatkan perjuangan Jo, tokoh yang sesungguhnya merefleksikan wujud Alcott. Jo nampak berbincang dengan editor koran yang mengkritik bukunya sebab kepribadian utamanya tidak menikah dengan siapapun pada kesimpulannya.

Awal mulanya, Alcott memanglah mau membuat Jo tidak menikah. Dalam kehidupan nyata, Alcott juga memanglah tidak menikah. Tetapi demi pasar serta duit buat keluarganya, Alcott setuju membuat kepribadian Jo menikah.

Bagaikan ubah, Jo berani memperjuangkan harga novel yang lebih besar. Dia pula senantiasa mau mempertahankan hak cipta atas Little Women.

" Bila aku wajib menjual pahlawan wanita aku ke perkawinan demi duit, aku pula wajib memperoleh uangnya," katanya.