Liputan21 - Pimpinan Lembaga Sensor Film( LSF) Ahmad Yani Basuki kukuh berkata film- film yang tersebar di Indonesia, tercantum dari layanan streaming berbagai Netflix, mesti menempuh prosedur sensor.
Ahmad Yani setelah itu menyebut mesti terdapat peraturan yang mengharuskan layanan streaming semacam Netflix, Iflix, serta yang lain mendaftarkan film- filmnya buat disensor saat sebelum diedar ke pelanggan tiap- tiap.
" Undang- undang berkata seluruh film serta iklan yang tersebar( di Indonesia) wajib lulus sensor film," kata Ahmad Yani di Jakarta, Kamis( 20/ 2), merujuk pada UU Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman ataupun UU Film.
Ahmad Yani berkata film- film yang tersebar dari layanan streaming telah jadi mengkonsumsi publik Indonesia serta dia menyebut LSF mempunyai tugas melindungi budaya bangsa lewat sensor.
Dia setelah itu memohon DPR bagaikan lembaga pembuat undang- undang buat membuat payung hukum yang menjangkau penyensoran atas film- film di layanan streaming.
" Walaupun belum terdapat payung ketentuan tersebut. Mereka[layanan streaming] merasa basisnya di luar negara, tidak jadi objek ketentuan.[Itu] dapat saja. Oleh sebab itu perlu lembaga- lembaga lain buat membuat peraturan[sensor] itu," kata Ahmad Yani.
Permintaan Ahmad Yani buat LSF bisa melaksanakan sensor kepada film- film layanan streaming ini bukan yang awal. Pada 2016 kemudian, dia sempat mempertanyakan soal sensor atas film- film di layanan streaming.
Kala itu, dia menjabarkan beberapa perihal yang jadi atensi dalam penyensoran oleh LSF. Beberapa perihal tersebut merupakan apabila konten mendesak khalayak universal melaksanakan kekerasan serta perjudian dan penyalahgunaan narkotika, psikotropika serta zat adiktif yang lain.
Setelah itu, LSF fokus menyensor konten pornografi dalam media ataupun film; provokasi yang dapat memunculkan pertentangan antar kelompok ataupun SARA; bertabiat menista, melecehkan serta/ ataupun menodai nilai- nilai agama.
Tidak hanya itu, perihal lain yang hendak disensor oleh LSF merupakan hal- hal yang mendesak publik melaksanakan aksi perlawanan hukum; dan merendahkan harkat serta martabat manusia.
Di sisi lain, Komisi Penyiaran Indonesia pula sempat mau mengendalikan konten layanan streaming semacam Netflix. Pimpinan KPI Agung Suprio melaporkan perihal itu diakibatkan sebab transisi pemirsa Indonesia dari media konvensional ke media baru semacam Netflix serta YouTube.
" Jika generasi digital, digital native yang lahir di masa baru ini mereka telah lebih banyak komsumsi media baru daripada media konvensional. Ini yang butuh diawasi supaya cocok dengan filosofi ataupun karakter bangsa," kata Agung lewat sambungan telepon, 8 Agustus 2019.
Tetapi sehabis bermacam polemik serta keluhan dari warga atas hasrat KPI tersebut, lembaga yang sepanjang ini mengawasi kelayakan konten di jaringan tv nasional itu mengakui kalau tidak mempunyai kewenangan menjangkau layanan streaming.
" KPI pada dasarnya siuman itu( Netflix) bukan objek pengawasan. Jadi, KPI tidak dapat berperan di luar kewenangannya," kata Komisioner KPI Irsal Ambia, 21 Agustus 2019.
KPI sepanjang ini memanglah cuma berwenang mengawasi sekalian mengendalikan konten media konvensional semacam tv dan radio. Perihal itu diatur dalam Undang- Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang setelah itu diturunkan dalam Pedoman Sikap Penyiaran Serta Standar Program Siaran( P3SPS).
Walaupun beberapa lembaga bernazar buat mengawasi serta menyensor film di layanan streaming berbagai Netflix, sampai dikala ini industri hiburan asal Amerika Serikat itu senantiasa bergeming serta menolak menjawab Mengenai tersebut.